Ketika Guru Dicintai, Pelajaran pun Menjadi Mudah Dipahami
Oleh Lasdi, S.Ag.,M.Pd.I.,Gr
Pagi itu, bel sekolah berbunyi seperti biasa. Anak-anak berlarian menuju kelas dengan wajah yang beragam ada yang lesu, ada yang bersemangat, ada pula yang berjalan pelan sambil menunduk. Namun suasana berubah seketika ketika seorang guru melangkah masuk ke ruang kelas. Senyum sederhana, sapaan lembut, dan tatapan penuh perhatian membuat ruang itu terasa berbeda. Bukan karena materi pelajaran yang akan disampaikan, melainkan karena kehadiran seorang guru yang dicintai.
Di ruang-ruang kelas seperti itulah kita belajar satu hal penting: pelajaran tidak selalu sulit, yang sering kali terasa berat justru suasananya. Dan suasana itu sangat ditentukan oleh siapa yang berdiri di depan kelas.
Mengajar Bukan Sekadar Menyampaikan, tetapi Menghadirkan Rasa
Banyak guru menguasai materi dengan sangat baik. Mereka hafal teori, paham kurikulum, dan cakap menyusun perangkat pembelajaran. Namun tidak semua mampu menghadirkan rasa nyaman. Padahal, bagi anak-anak, belajar adalah soal perasaan sebelum menjadi soal pemahaman.
Peserta didik tidak serta-merta menolak pelajaran. Yang sering mereka tolak adalah rasa takut, tekanan, dan jarak emosional. Sebaliknya, ketika guru hadir dengan kehangatan, anak-anak membuka diri. Mereka mendengar, memperhatikan, bahkan berani bertanya tanpa rasa cemas. Pada saat itulah ilmu menemukan jalannya masuk ke dalam pikiran.
Guru yang dicintai bukanlah guru yang selalu menuruti kemauan murid, melainkan guru yang memahami dunia mereka. Ia tahu kapan harus tegas dan kapan harus merangkul. Ia menegur tanpa melukai, membimbing tanpa merendahkan. Ketegasannya berbalut kasih, dan kedisiplinannya tumbuh dari keteladanan.
Cinta yang Membuat Anak Berani Belajar
Ada satu pemandangan yang sering luput dari perhatian: seorang anak yang tadinya pendiam, tiba-tiba berani mengangkat tangan. Bukan karena ia mendadak pandai, tetapi karena ia merasa aman. Aman untuk salah, aman untuk mencoba, dan aman untuk belajar.
Rasa aman itu tumbuh dari cinta. Dari guru yang tidak mempermalukan kesalahan, tidak membandingkan kemampuan, dan tidak mematikan semangat dengan kata-kata tajam. Anak-anak belajar lebih cepat ketika mereka merasa dihargai, bukan ditakuti.
Dalam kelas yang penuh cinta, belajar bukan lagi kewajiban yang menekan, melainkan kebutuhan yang menyenangkan. Anak-anak tidak belajar karena takut nilai merah, tetapi karena ingin memahami. Mereka tidak mengerjakan tugas demi hukuman yang dihindari, tetapi demi kepuasan karena mampu menyelesaikan.
Guru Menarik Bukan yang Hebat Bicara, tetapi yang Tulus Hadir
Sering kali kita menyangka guru menarik adalah guru yang lucu, pandai bercerita, atau menggunakan metode yang modern. Semua itu penting, tetapi bukan yang utama. Guru yang paling menarik adalah guru yang tulus hadir sepenuh hati.
Ketulusan itu terlihat dari cara ia menyapa, mendengar keluh kesah, dan menghargai setiap anak apa adanya. Ia tidak hanya melihat hasil, tetapi juga proses. Ia memahami bahwa setiap anak memiliki waktu dan cara sendiri untuk berkembang.
Ketika anak merasa dicintai, ia akan berusaha membalas cinta itu dengan cara terbaik yang ia bisa, belajar dengan sungguh-sungguh. Di sinilah pelajaran menjadi lebih mudah dipahami, bukan karena materinya disederhanakan, tetapi karena hati anak sudah lebih dulu terbuka.
Pendidikan yang Berawal dari Hati
Di tengah tuntutan administrasi, target kurikulum, dan beban profesional yang kian berat, makna sederhana ini sering terlupakan: mengajar adalah kerja hati. Tanpa hati, pembelajaran menjadi kering. Tanpa cinta, kelas berubah menjadi ruang formal yang sunyi dari makna.
Guru bukan hanya pengantar ilmu, tetapi juga penanam nilai. Apa yang diingat anak-anak kelak bukan semata rumus atau definisi, melainkan bagaimana mereka diperlakukan. Cara guru berbicara, bersikap, dan memandang mereka akan tinggal lama dalam ingatan, bahkan hingga dewasa. Ketika seorang anak mengenang gurunya dengan senyum, di situlah pendidikan berhasil menyentuh jiwanya.
Menjadi Guru yang Dicintai, Bukan Ditakuti
Pada akhirnya, tidak ada metode paling ampuh selain cinta yang tulus. Ketika guru dicintai, pelajaran pun menjadi mudah dipahami, karena belajar berlangsung tanpa paksaan. Ilmu tidak lagi dipaksa masuk, tetapi diterima dengan kesadaran.
Menjadi guru yang dicintai bukanlah perkara besar. Ia dimulai dari hal-hal kecil: senyum yang jujur, sabar yang dijaga, dan hati yang ikhlas. Dari sanalah lahir kelas-kelas yang hidup, pembelajaran yang bermakna, dan generasi yang tumbuh dengan kenangan indah tentang sekolahnya.
Karena sejatinya, anak-anak tidak belajar dari guru yang hanya pandai mengajar, tetapi dari guru yang mereka cintai.
Bulletin Paramadina News-Edisi Desember 2025 MI NU Unggulan Paramadina
Penulis: Lasdi, S.Ag., M.Pd.I., Gr
Kepala MI NU Unggulan paramadina
(Mahasiswa Program Doktor Unwahas-Konsultan Pendidikan dan Pemerhati Pendidikan )
Peran Strategis Waka Kurikulum dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Oleh Lasdi, S.Ag.,M.Pd.I.,Gr Di balik kelas-kelas yang berjalan tertib, pembelajaran yang terencana, serta evaluasi yang teruk...
Selengkapnya
Pendidikan Anak Inklusi: Merangkul Perbedaan, Menumbuhkan Harapan Oleh Lasdi, S.Ag.,M.Pd.I.,Gr Di sebuah ruang kelas yang sederhana, anak-anak duduk berdampingan dengan latar belakang dan kemampuan...
Selengkapnya
Gaya Kepemimpinan Kepala Madrasah yang Membuat Guru Nyaman dan Berkinerja Optimal Oleh Lasdi, S.Ag.,M.Pd.I.,Gr Di sebuah madrasah yang hidup, suasana kerja bukan hanya ditentukan oleh kurikulum at...
Selengkapnya