Manajemen Kelas Inklusif
Strategi Menangani Peserta Didik Hiperaktif
Oleh Lasdi, S.Ag.,M.Pd.I.,Gr
Bel berbunyi, menandai dimulainya pelajaran. Di antara deretan bangku yang tersusun rapi, seorang anak tampak gelisah. Kakinya tak berhenti bergerak, matanya menoleh ke segala arah, dan tangannya sibuk memainkan pensil. Sementara teman-temannya mulai membuka buku, ia masih berjuang menenangkan dirinya sendiri. Inilah potret nyata peserta didik hiperaktif di ruang kelas, bukan untuk disalahkan, melainkan untuk dipahami.
Bagi sebagian guru, kehadiran anak hiperaktif kerap menjadi ujian kesabaran. Namun di balik perilaku yang tampak “mengganggu”, tersimpan jiwa yang sedang mencari ruang untuk diterima. Manajemen kelas inklusif hadir bukan sekadar sebagai konsep pedagogis, tetapi sebagai sikap batin: keyakinan bahwa setiap anak berhak belajar dengan caranya sendiri.
Ketika Kelas Menjadi Ruang Aman
Kelas inklusif bukan tentang menyeragamkan perilaku, melainkan menyediakan ruang aman bagi perbedaan. Anak hiperaktif sering kali dicap nakal, tidak disiplin, atau sulit diatur. Padahal, yang mereka butuhkan bukan hukuman, melainkan pengertian. Guru yang inklusif memahami bahwa kegelisahan anak bukan bentuk pembangkangan, tetapi sinyal bahwa ia membutuhkan pendekatan berbeda.
Dalam praktiknya, guru mulai dari hal-hal sederhana: menyapa dengan lembut, memberi senyum, dan menanyakan kabar sebelum pelajaran dimulai. Sentuhan kecil ini sering kali menjadi pintu masuk untuk membangun kepercayaan. Ketika anak merasa diterima, separuh masalah telah terselesaikan.
Menata Kelas, Menata Hati
Manajemen kelas inklusif tidak hanya soal strategi, tetapi juga kepekaan. Penataan tempat duduk, misalnya, bukan sekadar teknis, melainkan bentuk kepedulian. Anak hiperaktif ditempatkan di posisi yang memudahkan interaksi dengan guru, bukan untuk diawasi berlebihan, tetapi agar ia merasa ditemani.
Aturan kelas pun disusun bersama, bukan dipaksakan sepihak. Guru mengajak seluruh peserta didik berdialog: apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta mengapa aturan itu penting. Dengan cara ini, anak hiperaktif tidak merasa terpojok, melainkan menjadi bagian dari kesepakatan bersama.
Belajar yang Bergerak, Bukan Membelenggu
Duduk diam selama berjam-jam adalah tantangan besar bagi anak hiperaktif. Karena itu, pembelajaran yang kaku justru memperbesar masalah. Guru inklusif memilih jalan berbeda: pembelajaran yang bergerak, hidup, dan memberi ruang ekspresi.
Diskusi kelompok, simulasi, permainan edukatif, hingga jeda aktivitas singkat menjadi strategi ampuh. Saat anak diberi kesempatan bergerak secara terarah, energi yang selama ini dianggap mengganggu justru berubah menjadi kekuatan. Kelas pun menjadi lebih dinamis, tidak hanya bagi anak hiperaktif, tetapi bagi seluruh peserta didik.
Teguran yang Menguatkan, Bukan Melukai
Salah satu kesalahan yang sering terjadi adalah menegur anak hiperaktif di depan kelas. Niatnya mendisiplinkan, dampaknya justru melukai. Anak merasa malu, rendah diri, dan semakin sulit mengontrol perilaku. Guru inklusif memilih cara lain: menegur dengan tenang, secara personal, dan penuh empati.
Kalimat sederhana seperti, “Ibu tahu kamu sedang berusaha, ayo kita coba pelan-pelan,” sering kali jauh lebih bermakna daripada suara keras penuh amarah. Penguatan positif atas usaha sekecil apa pun menjadi bahan bakar kepercayaan diri anak.
Kolaborasi yang Menguatkan Langkah
Menangani peserta didik hiperaktif bukan tugas guru semata. Orang tua adalah mitra penting yang perlu dirangkul, bukan disalahkan. Melalui komunikasi yang terbuka dan penuh empati, guru dan orang tua dapat menyatukan langkah demi perkembangan anak.
Sekolah pun memegang peran strategis. Kebijakan yang ramah inklusi, pelatihan guru, serta dukungan tenaga profesional menjadi fondasi kuat terciptanya kelas yang benar-benar menerima perbedaan.
Melihat Potensi di Balik Kegelisahan
Di balik kegelisahan anak hiperaktif, sering kali tersembunyi potensi luar biasa: kreativitas, keberanian, dan kejujuran emosi. Tugas guru bukan memadamkan api itu, melainkan mengarahkannya. Ketika kelas dikelola dengan hati, anak hiperaktif tidak lagi menjadi beban, tetapi inspirasi.
Pada akhirnya, manajemen kelas inklusif adalah perjalanan batin seorang pendidik. Ia menuntut kesabaran, keikhlasan, dan keyakinan bahwa setiap anak apa pun kondisinya adalah amanah yang layak diperjuangkan. Di ruang kelas yang inklusif, guru tidak hanya mengajar mata pelajaran, tetapi juga menanamkan nilai kemanusiaan. Dan di sanalah pendidikan menemukan maknanya yang paling dalam.
Bulletin Paramadina News-Edisi Desember 2025 MI NU Unggulan Paramadina
Penulis: Lasdi, S.Ag., M.Pd.I., Gr
Kepala MI NU Unggulan paramadina
(Mahasiswa Program Doktor Unwahas-Konsultan Pendidikan dan Pemerhati Pendidikan )
Peran Strategis Waka Kurikulum dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Oleh Lasdi, S.Ag.,M.Pd.I.,Gr Di balik kelas-kelas yang berjalan tertib, pembelajaran yang terencana, serta evaluasi yang teruk...
Selengkapnya
Pendidikan Anak Inklusi: Merangkul Perbedaan, Menumbuhkan Harapan Oleh Lasdi, S.Ag.,M.Pd.I.,Gr Di sebuah ruang kelas yang sederhana, anak-anak duduk berdampingan dengan latar belakang dan kemampuan...
Selengkapnya
Gaya Kepemimpinan Kepala Madrasah yang Membuat Guru Nyaman dan Berkinerja Optimal Oleh Lasdi, S.Ag.,M.Pd.I.,Gr Di sebuah madrasah yang hidup, suasana kerja bukan hanya ditentukan oleh kurikulum at...
Selengkapnya